Thursday, March 14, 2013

Si Raja Meteor, Pulau Belitung (3)



Menyibak tirai jendela yang penuh dengan cahaya matahari, menyaksikan cahaya terang yang menembus masuk ke setiap fentilasi kamar, Ohhh.. sudah pagi rupanya. Saya pun terbangun dan melihat jam tangan, ternyata sudah pukul 10.00 , sungguh malam yang panjang bukan? Saya pun mulai bingung, akan kemana lagi menghabiskan satu malam ini. Saya pun berjalan-jalan diseputar hotel, menikmati pemandangan yang masih alami, bahasa rakyat yang khas, bentuk-bentuk wajah yang variatif, berbagai macam etnis dan budaya yang berdampingan, juga jauh dari teknologi. Keanekaragaman adat istiadat yang ada membuat pulau Belitung begitu kaya akan seni budaya. Masyarakat Belitung pada umumnya terdiri dari berbagai suku seperti melayu, tionghoa, bugis dan berbagai suku lainnya. Meskipun didominasi oleh suku melayu, perkembangan seni budaya dari masing-masing suku tetap terpelihara dengan baik.

          Saya tidak tahu apakah Belitung termasuk daerah penghasil emas, yang sering saya baca dalam artikel adalah kota ini menjadikan pelabuhan sebagai salah satu urat nadi perekonomian. Dipelabuhan dapat disaksikan kesibukan pekerja bongkar muat kaolin, yang menjadi hasil tambang utama Kabupaten Belitung. Selain itu terdapat pula kapal-kapal pinisi yang biasa mengangkut kayu, serta tongkang dan kapal tunda pengangkut pasir kwarsa. Pemerintah Kabupaten Belitung dalam beberapa tahun terakhir ini telah menarik investor dari dalam dan luar negeri untuk membuka areal perkebunan khususnya komoditas kelapa sawit. Yang mengherankan adalah di kota ini, di setiap sudut banyak pedagang emas. Saya pun hanya mengamati dari kejauhan saja. Saya pikir belum tentu kadar emasnya bagus, karena mereka adalah penghasil timah bukan penghasil emas. Saya pun berjalan lagi mencari hal-hal yang bisa saya amati, juga saya komentari. Hehe..

1.    Rumah Kapiten Phang Tjong Toen
Sewaktu saya berjalan mengitari satu toko dan pindah ke toko lain, saya menemukan tempat ini. Tempat yang disebut sebagai Rumah Kapiten Phang Tjong Toen. Rumah ini tampak tidak terawat terlihat dari cat putih yang sudah mulai berganti warna menjadi coklat mengikuti umur bangunan. Bangunan ini berada di antara deretan toko Aneka dekat persimpangan kawasan jalan Endek Tanjungpandan Belitung. Berdasarkan informasi yang dihimpun bangkapos.com menyebutkan, Phang Tjong Toen pada zamannya dikenal sebagai seorang kapiten sekaligus juru tulis tambang sejak John F. Loudon mulai membuka pertambangan timah di Belitung pada tahun 1853. Rumah ini juga merupkan salah satu bangunan berserjarah, berukuran 25,65 x 32,90 meter dengan luas lahan 54,30 x 30 meter.

Untuk menetap di pulau Belitung, Kapiten Phang Tjong Toen membangun sebuah rumah berarsitektur yang khas. Rumah itu diperkirakan dibangun tahun 1868 atau kurang lebih telah berusia 143 tahun, yang juga merupakan tempat berkumpulnya para pengusaha pengelola pasir timah.

Rumah Kapiten Phang Tjong Toen

2.    Baliank
Baliank adalah salah satu distro yang terkenal di Belitung. Dengan konsep seribu macam pilihan serta manajemen yang ditata sendiri, toko yang beralamat di Jl A Yani Dalam No 119 ini tak hanya menjual sandal, sepatu dan tas, selain itu juga menjual beragam alas kaki, dompet, kacamata, ikat pinggang, aneka pajangan, dan aksesoris. Keunggulan toko ini adalah banyaknya pilihan bagi pengunjung yang datang dan barang yang ditawarkan adalah merek mereka sendiri “Baliank”. Dari segi harga, semua produk sudah dipatok harganya. Untuk sandal cewek dibanderol dari harga Rp 30-500 ribu, dan untuk sepatu ditawarkan dari harga Rp 100-500 ribuan. Sedangkan untuk para cowok sandal dibanderol dari harga Rp 80-300 ribuan, sedangkan sepatu ditawarkan dari harga Rp 120-500 ribuan. Baliank pun berhasil membuka cabang di Kalimantan dengan produk mereka sendiri.



3.    Gereja GPIB Imanuel Tanjung Pandan
Saya salah satu orang yang cukup bangga berasal dari suku batak. Yang saya kagumi adalah, meskipun tidak banyak, mereka selalu bisa survive. Di awal saya sempat berfikir akan merayakan natal di gereja yang berbahasa melayu atau tiong hoa sekalian. Namun saya salah, suku saya cukup berkembang luas dikota ini. Gereja pun dibangun cukup apik, meski tidak seapik gereja-gereja yang anda lihat di Jakarta. Maka di malam Natal yang indah itu pun saya memakai dress pantai, karena sebelum kebaktian rencananya saya akan langsung menuju ke pantai. Menikmati sesuatu yang indah, yang kita sebut dengan moment matahari terbenam.





Terletak di kompleks bekas perumahan pejabat PT.Timah, membuat pantai Tanjungpendam cukup terawat sejak dulu. Di sini anda tidak akan menjumpai pantai pasir putih dan pepohonan kepala, tetapi khusus untuk anak-anak ada taman bermain yang cukup menarik. Dari pantai ini terlihat kapal-kapal hilir mudik masuk ke muara sungai Cerucuk dengan latar belakang pulang Kalamoa yang legendaris. Matahari terbenam dengan latar belakang kapal-kapal yang baru akan melaut dan pulau Kalamoa menjadikan tempat ini menarik untuk menikmati awal senja hari.





Lelah berfoto-foto ria, maka saya pun akhirnya menginjakkan kaki di Gereja GPIB Tanjungpandan. Lokasi gereja berseberangan dengan Tanjung Pendam, tempat saya mengambil foto-foto diatas. Saya pun mulai mencari lapak dimana saya bisa mengabadikan moment Natal itu, sedih memang tidak bisa merayakan Natal bersama keluarga. Tapi saya juga bahagia dan terharu bisa merayakan Natal 2012 bersama jemaat Belitong. Semoga kita semua selalu diberkati. Amin.


4.    Tanjung Pendam
Di malam hari pantai Tanjungpendam berubah menjadi tempat berkumpul masyarakat Belitung untuk menikmati aneka kuliner di restoran-restoran open air sekaligus ditemani alunan live music dari musisi lokal yang tampil di beberapa restoran. Di tempat ini juga sering digelar acara panggung pertunjukan kesenian. Terdapat pula berbagai fasilitas seperti lapangan basket dan futsal. Tanjung pendam juga menjadi tempat nongkrong penggemar sepeda onthel yang cukup populer di Tanjungpandan. Maka saya pun tak mau ketinggalan moment, sehabis kebaktian saya langsung kabur ke salah satu restoran yang katanya ramai dikunjungi oleh anak-anak muda Belitung yaitu Unique Cafe. Saya pun menikmati pesta pantai ini dengan hikmat, berdansa dan kemudian bernyanyi ala ala Nicki Minaj "Let's go to the beach, each, Let's go get away.. I'm on the floor, floor, I love to dance. So give me more more, till I can't stand" *goyang pantat*



  

5.    Batu Meteor
Sehabis memanjakan diri dengan live music di tanjung pendam, saya pun pulang berjalan kaki ke hotel tempat saya menginap. Ternyata tak jauh dari hotel terdapat salah satu tempat berupa taman yang menjadi lokasi untuk bersosialisasi bagi mereka yang ikut dalam aliran music yang berbeda yaitu reggae. Saya pun mendekat ke arah mereka dan mulai memotret sana sini sambil mendengarkan mereka bernyanyi dan berdansa. Yomannnn... !
 


Pusat kota dari Tanjung Pandan ini ditandai dengan sebuah monumen berbentuk batu besar yang masih berlokasi di taman. Batu itu disebut sebagai batu Satam, yang dipercaya berasal dari meteor yang jatuh kebumi.



Hasil tabrakan meteor dengan bumi ternyata menghasilkan serpihan-serpihan yang berkilau bagaikan batu kaca. Salah satu yang berkilau itulah yang disebut batu Satam. Konon katanya batu-batu ini hanya terdapat di Australia, Cekoslavia, dan Arab. Sedangkan yang paling berkilau ada di Indonesia sendiri yaitu hanya ada Belitung. Wuiihhh ! Batu satam ini pun tidak mudah di dapat. Biasanya batu ini ditemukan oleh penambang timah darat, tepatnya di perut bumi dengan kedalaman 50 meter. Istilah satam ini pun diambil dari bahasa warga keturunan China yang berada di Pulau Belitung. SA yang artinya pasir, TAM artinya empedu. Jadi Pasir empedu, Empedu pasir. Entahlah.. mungkin karena batu ini memiliki warna dan bentuk seperti empedu. Begitulah analisa instan dari saya.





 
Kembali berjalan menuju hotel dan akhirnya lelap tertidur. Tak terasa matahari pagi mendadak mengagetkan saya, mengingatkan saya bahwa ini adalah pagi terakhir berleha-leha. Tak ada lagi liburan dan harus kembali ke dunia nyata. Sedih sekali rasaya harus meninggalkan kota yang indah dan jauh dari polusi ini. Namun apa daya, kalau tidak bekerja lagi di Jakarta, saya tidak akan pernah punya uang saku untuk menjelajah keindahan Indonesia dibagian lain. Saya pun berangkat ke bandara dengan tak lupa mengenakan baju berwarna biru ini, yang menandakan bahwa saya suka tempat ini dan akan selalu menjadi bagian dari sejarah tumpukan baju di lemari saya nantinya. Hehe.. 


Good Bye Belitung. We love you, We Support you... !!! *Kiss kemudian terbang*